Bismillaah,
Postingan terakhir adalah di Nov 2016 dan sekarang udah
Feb 2017, apa kabarnya kah? :)
Btw karena postingan terakhir kemarin mengenai
jalan-jalan ke Lombok-Gili jadi pengen nulis kemirisan yang sempat dirasakan
kemarin (udah 2015 sih, gpp lah ya telat bgt he..) ketika berlibur ke Gili, apakah itu??
Lombok terkenal dengan julukan pulau 1000 Masjid karena
saking banyaknya masjid di kota tersebut yang memang mayoritas masyarakatnya
adalah muslim yang taat insyaAllah :) dan julukan itu benar-benar
saya rasakan sendiri benar adanya karena selama perjalanan darat di Lombok
sebentar2 saya bisa menemukan masjid di pinggir jalan dengan berbagai macam
ukuran dan bentuk arsitektur yang semuanya terlihat terawat dan
"hidup" karena rutin digunakan masyarakatnya untuk beribadah,
alhamdulillaah :) Oya selain terkenal dengan julukan 1000 Masjid, Lombok
juga gencar mempromosikan kepopuleran pariwisatanya melalui tagline pariwisata
halal, terutama untuk makanan dan minumannya :)
Lalu apa hubungannya dengan kemirisan yang dirasakan
ketika berada di Gili? Kepulauan Tiga Gili (Gili Trawangan, Gili Air dan Gili
Meno) adalah beberapa pulau kecil yang masih bagian dari provinsi Nusa
Tenggara Barat alias NTB tapi agak sedikit terpisah dari Pulau Lombok sebagai
pulau utama di mana ibukota provinsi NTB yaitu Mataram berada. Provinsi NTB
memang terkenal dengan pariwisatanya terutama wisata pantai seperti Pantai Senggigi
yang sampai ada lagunya, Pantai Kuta (bukan Kuta di Bali tapi yaa) dengan pasir
mericanya, Pantai Pink yang lagi hits dan kekinian dan juga pantai-pantai
berpasir putih halus di kepulauan Tiga Gili termasuk di Gili Trawangan yang
kadang dijuluki sebagai Bali Kedua,, kenapa dijuluki sebagai Bali Kedua?
Mungkin karena memiliki pantai-pantai yang sama indahnya dengan pantai-pantai
di Bali, mungkin juga karena sama “bebas” nya dengan di Bali :(
Jadi saat pertama kali merapat di dermaga Gili
Trawangan ketika liburan keluarga kemarin saya tidak sengaja melihat
pemandangan yang mungkin sebagian orang memandangnya biasa tapi saya terus
terang merasa jengah dan mulai merasakan kemirisan.. Apa yang saya lihat adalah
beberapa pekerja sedang melakukan bongkar muatan dari sebuah kapal kayu
nelayan, muatannya berupa bahan-bahan makanan dan minuman yang didatangkan dari
pulau lain mengingat Gili Trawangan hanyalah sebuah pulau kecil tanpa lahan
untuk industri maupun pertanian. Bukanlah mendatangkan bahan makanan/minuman
dari luar pulau yang membuat saya mulai miris, melainkan jenis bahan tersebut
terutama minumannya yang berupa berkardus-kardus dan berbotol-botol minuman
keras alias bir :(
Saat melihat itu entah kenapa hati saya mulai merasa
miris meskipun saya tahu Gili Trawangan adalah salah satu destinasi wisata
favorit bahkan untuk level internasional yang artinya adalah memang banyak
bule-bule yang datang berkunjung seperti halnya di Bali yang ramai dipenuhi
oleh wisatawan mancanegara di hampir setiap sudutnya. Tapi bedanya dengan Bali
adalah budaya di Bali memang membolehkan minuman keras sedangkan Gili Trawangan
yang walaupun secara pulau terpisah dari pulau utama Lombok tapi tetap
mayoritas penduduk Gili Trawangan adalah muslim yang bukan saja diharamkan
untuk meminum minuman keras tapi juga tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam
proses produksi dan jual-beli minuman keras tersebut. Saya sempat berniat untuk
mengambil foto para pekerja tersebut yang sedang menurunkan krat-krat botol
minuman keras tapi sayangnya tidak keburu karena kebetulan sedang tidak pegang
handphone.
Ya, melihat pemandangan berbotol-botol bir yang sedang
dibongkar muat dari kapal di dermaga untuk kemudian diperjual-belikan di dalam
Gili Trawangan adalah kemirisan pertama yang mulai saya rasakan dari pulau ini :(
Selanjutnya dari dermaga kemudian kami berjalan ke
dalam pulau Gili Trawangan untuk menuju ke penginapan. Saat itu sudah sore
menjelang senja dan kami melewati jalanan utama di pulau Gili Trawangan yang
memang didesain tidak terlalu besar karena hanya untuk para pejalan kaki,
sepeda dan cidomo alias delman atau kereta yang ditarik oleh kuda. Di Gili
Trawangan kendaraan bermotor hampir tidak ada karena memang dilarang. Jadilah
banyak sekali wisatawan baik domestik apalagi wisatawan luar alias bule yang
berlalu-lalang berjalan kaki di jalanan utama tersebut. Dan sebagian besar para
bule yang berlalu-lalang di jalanan tersebut dengan santainya berjalan dengan
hanya memakai two pieces bikini atau atasan bikini dengan bagian bawah dililit
handuk atau kain semacam kain bali. Oh hellooow, bahkan mungkin di Bali para
bule tidak seberani ini berjalan-jalan di luar pantai atau jalanan utama hanya
dengan mengenakan two pieces, dan inilah kemirisan kedua saya :(
Memang mungkin para bule itu berani hanya
mengenakan pakaian tersebut walaupun sedang tidak di pantai alias di jalanan
utama karena memang jalanan utamanya sangat dekat dengan pantai dan jalanan tsb
sepertinya adalah memang jalan satu-satunya, jadi para bule mungkin tidak ada
pilihan untuk melalui jalan yang lain. Melihat jalanan yang ramai dengan bule
berpakaian serupa itu seketika saya merasa kangen dengan Pulau Sabang dengan
Pantai Iboih-nya yang berani memasang papan larangan menggunakan bikini di
public area sekitar pantainya *thumbs up buat Aceh dengan Pulau Weh/Sabang-nya*
Bukannya membandingkan Gili Trawangan dengan Sabang tapi mengingat penduduknya
yang sama-sama mayoritas muslim saya merasa Gili Trawangan seharusnya bisa
melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di Pulau Sabang, no bikini in
public area please..
Oke setelah menemukan penginapan dengan segala
insidennya (detail ada di cerita sebelumnya) dan mengejar pepotoan di sunset,
kami mulai mencari tempat untuk makan malam. Daerah sekitar dermaga Pulau Gili
Trawangan adalah tujuan utama kami untuk mencari tempat makan malam karena
memang daerah tersebut paling ramai dengan berbagai macam resto dan toko. Dan kemirisan
selanjutnya adalah ketika sedang mencari resto untuk makan malam ini. Betapa
susahnya untuk mencari resto yang tidak menjual Pork! Hampir semua tempat makan
mulai dari yang besar sampai yang kecil yang walopun menu utamanya adalah
seafood tapi tetap menyediakan menu yang ada pork-nya alias daging babi :(
Setelah berjalan melintasi resto ke sekian sembari
mengintip menu atau bertanya kehalalan makanan di hampir setiap resto yang
dilewati, akhirnya kita ketemu juga resto yang walaupun dia tidak pasang logo halal di
plang-nya tapi dia menjamin bahwa dia tidak menyediakan pork di menu makanannya
-meskipun dia tetap menyediakan bir dalam list minumannya, hikss. Dan selama
menunggu pesanan makanan datang (pesen nasi goreng akhirnya kalo ga salah he..)
kita memperhatikan keramaian sekitar. Bule berbusana minim yang berlalu-lalang
(walopun udah ga pake bikini lagi karena udah malem nanti masuk angin cyiiin),
musik ala dugem yang hingar-bingar, dan kehebohan agak tidak biasa di resto seberang
jalan yang ternyata setelah diperhatikan lebih lanjut seperti sedang melakukan
acara kompetisi seru bagi pengunjungnya, kompetisi semacam beer pong :( What can I do or what should I say? Yang ada akhirnya cuma pura-pura ga
lihat dan mencoba tidak perduli dengan kehebohan di resto seberang.
Suasana di Gili Trawangan mungkin sudah seperti di luar
negri, bule yang sangat banyak dan ada di mana-mana sehingga menjadi seperti
mayoritas sedangkan orang lokal atau turis domestik jauh lebih sedikit sehingga
seakan-akan kita adalah minoritas dan tidak berdaya terhadap pengaruh budaya yang
mereka bawa meskipun sebenarnya kita sedang berada di tanah kita sendiri,
hikss.
Keesokan paginya setelah kita mengejar sunrise di
dermaga yang sangat sepi (yaiyalah tuh bule2 mungkin belum pada bangun setelah
begadang minum-minum), kita mencoba untuk lari pagi keliling pulau Gili
Trawangan. Oya sebelum mengejar sunrise, saat subuh ternyata kita mendengar
suara adzan! Antara senang dan sedih sih, senang karena masih bisa mendengar adzan
di pulau yang rame bule ini tapi sedih karena adzan ini mungkin banyak yang
tidak mendengar panggilannya karena para bule masih pada tidur he.. Kembali ke cerita
lari pagi, saat lari pagi mengitari pulau Gili Trawangan ini kita baru melihat
dan menyadari bahwa tidak jauh dari balik toko-toko dan resto-resto yang hingar
bingar semalam ada masjid lumayan besar yang sedang dibangun (tahun 2015). Dari
jauh mulai nampak menaranya yang belum selesai di cat putih seluruhnya. Kembali
terasa campuran antara senang dan sedih, senang karena ternyata di pulau Gili
Trawangan ini penduduknya masih perduli dengan kehidupan beragama meskipun
sumber mata pencaharian mereka yang utama yaitu pariwisata memaksa mereka untuk
bergelut dengan beberapa hal yang tidak diperbolehkan agama dan sedikit banyak
menjauhkan penduduk dari praktik kehidupan beragama dan beribadah sehari-hari
(melihat cukup banyak pemuda lokal yang menggunakan anting, pelayan resto yang
menyediakan bir dan pork, pemandangan bikini setiap hari berseliweran). Sedih
karena betapa mirisnya masjid tersebut harus berada di antara tempat-tempat
yang menjual makanan dan minuman yang diharamkan dan pakaian yang sangat
terbuka. Bahkan di Bali pun, bule-bule itu harus mengenakan sarung atau kain
penutup ketika berwisata ke pura ataupun daerah sekitarnya. Btw, meskipun terombang-ambing
antara perasaan senang dan sedih tapi tetap sangat berharap bahwa masjid
tersebut bisa membawa pengaruh kebaikan bagi lingkungan sekitarnya, aamiin.
Oke, sekian cerita mengenai kemirisan yang saya rasakan
selama berada di Gili Trawangan yang penduduk aslinya mayoritas muslim namun
terbentur dengan tuntutan mata pencaharian utama dari pariwisata masyarakat internasional.
Semoga pemerintah setempat bisa segera menyadari hal tersebut dan mencarikan
solusinya. Saya insyaAllah yakin kalau pemerintah setempat akan perduli karena pemerintahan NTB yang sekarang, saya
dengar adalah pemerintah yang cukup agamis dan modern. Dan insyaAllah akan segera
ada solusi karena di mana ada niat di situ selalu ada jalan. Banyak destinasi
wisata internasional yang berpenduduk lokal muslim tapi tetap bisa
mempertahankan norma dan nilai-nilai agamanya. Kalau Pulau Sabang masih tidak
cukup levelnya untuk dijadikan role model, mungkin Maldives bisa. Pernah
mendengar nama Maldives kan? Maldives sebuah kepulauan kecil di tepi Samudra
Hindia yang merupakan salah satu tujuan wisata pantai favorit level
internasional, makanan yang disediakan di sana semuanya adalah makanan halal
dan bahkan mencari alkohol pun susah. Wisatawan -sekalipun itu bule- yang
berkunjung ke Maldives dilarang membawa minuman ber-alkohol, makanan yang
mengandung babi, anjing, senjata tajam dan narkoba. Wisatawan pun dilarang
berkeliling pulau menggunakan bikini, untuk tourist bule yang hobi bikini-an
disediakan private beach terpisah dimana orang lokal dilarang untuk masuk. Dan
apakah karena larangan-larangan tersebut membuat pariwisata di Maldives mati?
Sinar pariwisatanya meredup pun bahkan tidak :)
So, semoga suatu saat Gili Trawangan dan tempat-tempat
wisata manapun yang penduduknya mayoritas muslim tetap bisa menjayakan
pariwisatanya dengan tetap mematuhi ajaran agamanya, aamiin :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar