Sabtu, 18 Februari 2017

Jejak Pikiran: Kemirisan di Gili Trawangan Lombok


Bismillaah,

Postingan terakhir adalah di Nov 2016 dan sekarang udah Feb 2017, apa kabarnya kah? :)

Btw karena postingan terakhir kemarin mengenai jalan-jalan ke Lombok-Gili jadi pengen nulis kemirisan yang sempat dirasakan kemarin (udah 2015 sih, gpp lah ya telat bgt he..) ketika berlibur ke Gili, apakah itu??

Lombok terkenal dengan julukan pulau 1000 Masjid karena saking banyaknya masjid di kota tersebut yang memang mayoritas masyarakatnya adalah muslim yang taat insyaAllah :) dan julukan itu benar-benar saya rasakan sendiri benar adanya karena selama perjalanan darat di Lombok sebentar2 saya bisa menemukan masjid di pinggir jalan dengan berbagai macam ukuran dan bentuk arsitektur yang semuanya terlihat terawat dan "hidup" karena rutin digunakan masyarakatnya untuk beribadah, alhamdulillaah :) Oya selain terkenal dengan julukan 1000 Masjid, Lombok juga gencar mempromosikan kepopuleran pariwisatanya melalui tagline pariwisata halal, terutama untuk makanan dan minumannya :)
 
Lalu apa hubungannya dengan kemirisan yang dirasakan ketika berada di Gili? Kepulauan Tiga Gili (Gili Trawangan, Gili Air dan Gili Meno)  adalah beberapa pulau kecil yang masih bagian dari provinsi Nusa Tenggara Barat alias NTB tapi agak sedikit terpisah dari Pulau Lombok sebagai pulau utama di mana ibukota provinsi NTB yaitu Mataram berada. Provinsi NTB memang terkenal dengan pariwisatanya terutama wisata pantai seperti Pantai Senggigi yang sampai ada lagunya, Pantai Kuta (bukan Kuta di Bali tapi yaa) dengan pasir mericanya, Pantai Pink yang lagi hits dan kekinian dan juga pantai-pantai berpasir putih halus di kepulauan Tiga Gili termasuk di Gili Trawangan yang kadang dijuluki sebagai Bali Kedua,, kenapa dijuluki sebagai Bali Kedua? Mungkin karena memiliki pantai-pantai yang sama indahnya dengan pantai-pantai di Bali, mungkin juga karena sama “bebas” nya dengan di Bali :(

Jadi saat pertama kali merapat di dermaga Gili Trawangan ketika liburan keluarga kemarin saya tidak sengaja melihat pemandangan yang mungkin sebagian orang memandangnya biasa tapi saya terus terang merasa jengah dan mulai merasakan kemirisan.. Apa yang saya lihat adalah beberapa pekerja sedang melakukan bongkar muatan dari sebuah kapal kayu nelayan, muatannya berupa bahan-bahan makanan dan minuman yang didatangkan dari pulau lain mengingat Gili Trawangan hanyalah sebuah pulau kecil tanpa lahan untuk industri maupun pertanian. Bukanlah mendatangkan bahan makanan/minuman dari luar pulau yang membuat saya mulai miris, melainkan jenis bahan tersebut terutama minumannya yang berupa berkardus-kardus dan berbotol-botol minuman keras alias bir :(
 
Saat melihat itu entah kenapa hati saya mulai merasa miris meskipun saya tahu Gili Trawangan adalah salah satu destinasi wisata favorit bahkan untuk level internasional yang artinya adalah memang banyak bule-bule yang datang berkunjung seperti halnya di Bali yang ramai dipenuhi oleh wisatawan mancanegara di hampir setiap sudutnya. Tapi bedanya dengan Bali adalah budaya di Bali memang membolehkan minuman keras sedangkan Gili Trawangan yang walaupun secara pulau terpisah dari pulau utama Lombok tapi tetap mayoritas penduduk Gili Trawangan adalah muslim yang bukan saja diharamkan untuk meminum minuman keras tapi juga tidak diperbolehkan untuk terlibat dalam proses produksi dan jual-beli minuman keras tersebut. Saya sempat berniat untuk mengambil foto para pekerja tersebut yang sedang menurunkan krat-krat botol minuman keras tapi sayangnya tidak keburu karena kebetulan sedang tidak pegang handphone.

Ya, melihat pemandangan berbotol-botol bir yang sedang dibongkar muat dari kapal di dermaga untuk kemudian diperjual-belikan di dalam Gili Trawangan adalah kemirisan pertama yang mulai saya rasakan dari pulau ini :(

Selanjutnya dari dermaga kemudian kami berjalan ke dalam pulau Gili Trawangan untuk menuju ke penginapan. Saat itu sudah sore menjelang senja dan kami melewati jalanan utama di pulau Gili Trawangan yang memang didesain tidak terlalu besar karena hanya untuk para pejalan kaki, sepeda dan cidomo alias delman atau kereta yang ditarik oleh kuda. Di Gili Trawangan kendaraan bermotor hampir tidak ada karena memang dilarang. Jadilah banyak sekali wisatawan baik domestik apalagi wisatawan luar alias bule yang berlalu-lalang berjalan kaki di jalanan utama tersebut. Dan sebagian besar para bule yang berlalu-lalang di jalanan tersebut dengan santainya berjalan dengan hanya memakai two pieces bikini atau atasan bikini dengan bagian bawah dililit handuk atau kain semacam kain bali. Oh hellooow, bahkan mungkin di Bali para bule tidak seberani ini berjalan-jalan di luar pantai atau jalanan utama hanya dengan mengenakan two pieces, dan inilah kemirisan kedua saya :(
Memang mungkin para bule itu berani hanya mengenakan pakaian tersebut walaupun sedang tidak di pantai alias di jalanan utama karena memang jalanan utamanya sangat dekat dengan pantai dan jalanan tsb sepertinya adalah memang jalan satu-satunya, jadi para bule mungkin tidak ada pilihan untuk melalui jalan yang lain. Melihat jalanan yang ramai dengan bule berpakaian serupa itu seketika saya merasa kangen dengan Pulau Sabang dengan Pantai Iboih-nya yang berani memasang papan larangan menggunakan bikini di public area sekitar pantainya *thumbs up buat Aceh dengan Pulau Weh/Sabang-nya* Bukannya membandingkan Gili Trawangan dengan Sabang tapi mengingat penduduknya yang sama-sama mayoritas muslim saya merasa Gili Trawangan seharusnya bisa melakukan hal yang sama dengan yang dilakukan di Pulau Sabang, no bikini in public area please..

Oke setelah menemukan penginapan dengan segala insidennya (detail ada di cerita sebelumnya) dan mengejar pepotoan di sunset, kami mulai mencari tempat untuk makan malam. Daerah sekitar dermaga Pulau Gili Trawangan adalah tujuan utama kami untuk mencari tempat makan malam karena memang daerah tersebut paling ramai dengan berbagai macam resto dan toko. Dan kemirisan selanjutnya adalah ketika sedang mencari resto untuk makan malam ini. Betapa susahnya untuk mencari resto yang tidak menjual Pork! Hampir semua tempat makan mulai dari yang besar sampai yang kecil yang walopun menu utamanya adalah seafood tapi tetap menyediakan menu yang ada pork-nya alias daging babi :(
 
Setelah berjalan melintasi resto ke sekian sembari mengintip menu atau bertanya kehalalan makanan di hampir setiap resto yang dilewati, akhirnya kita ketemu juga resto yang walaupun dia tidak pasang logo halal di plang-nya tapi dia menjamin bahwa dia tidak menyediakan pork di menu makanannya -meskipun dia tetap menyediakan bir dalam list minumannya, hikss. Dan selama menunggu pesanan makanan datang (pesen nasi goreng akhirnya kalo ga salah he..) kita memperhatikan keramaian sekitar. Bule berbusana minim yang berlalu-lalang (walopun udah ga pake bikini lagi karena udah malem nanti masuk angin cyiiin), musik ala dugem yang hingar-bingar, dan kehebohan agak tidak biasa di resto seberang jalan yang ternyata setelah diperhatikan lebih lanjut seperti sedang melakukan acara kompetisi seru bagi pengunjungnya, kompetisi semacam beer pong :( What can I do or what should I say? Yang ada akhirnya cuma pura-pura ga lihat dan mencoba tidak perduli dengan kehebohan di resto seberang.

Suasana di Gili Trawangan mungkin sudah seperti di luar negri, bule yang sangat banyak dan ada di mana-mana sehingga menjadi seperti mayoritas sedangkan orang lokal atau turis domestik jauh lebih sedikit sehingga seakan-akan kita adalah minoritas dan tidak berdaya terhadap pengaruh budaya yang mereka bawa meskipun sebenarnya kita sedang berada di tanah kita sendiri, hikss.

Keesokan paginya setelah kita mengejar sunrise di dermaga yang sangat sepi (yaiyalah tuh bule2 mungkin belum pada bangun setelah begadang minum-minum), kita mencoba untuk lari pagi keliling pulau Gili Trawangan. Oya sebelum mengejar sunrise, saat subuh ternyata kita mendengar suara adzan! Antara senang dan sedih sih, senang karena masih bisa mendengar adzan di pulau yang rame bule ini tapi sedih karena adzan ini mungkin banyak yang tidak mendengar panggilannya karena para bule masih pada tidur he.. Kembali ke cerita lari pagi, saat lari pagi mengitari pulau Gili Trawangan ini kita baru melihat dan menyadari bahwa tidak jauh dari balik toko-toko dan resto-resto yang hingar bingar semalam ada masjid lumayan besar yang sedang dibangun (tahun 2015). Dari jauh mulai nampak menaranya yang belum selesai di cat putih seluruhnya. Kembali terasa campuran antara senang dan sedih, senang karena ternyata di pulau Gili Trawangan ini penduduknya masih perduli dengan kehidupan beragama meskipun sumber mata pencaharian mereka yang utama yaitu pariwisata memaksa mereka untuk bergelut dengan beberapa hal yang tidak diperbolehkan agama dan sedikit banyak menjauhkan penduduk dari praktik kehidupan beragama dan beribadah sehari-hari (melihat cukup banyak pemuda lokal yang menggunakan anting, pelayan resto yang menyediakan bir dan pork, pemandangan bikini setiap hari berseliweran). Sedih karena betapa mirisnya masjid tersebut harus berada di antara tempat-tempat yang menjual makanan dan minuman yang diharamkan dan pakaian yang sangat terbuka. Bahkan di Bali pun, bule-bule itu harus mengenakan sarung atau kain penutup ketika berwisata ke pura ataupun daerah sekitarnya. Btw, meskipun terombang-ambing antara perasaan senang dan sedih tapi tetap sangat berharap bahwa masjid tersebut bisa membawa pengaruh kebaikan bagi lingkungan sekitarnya, aamiin.

Oke, sekian cerita mengenai kemirisan yang saya rasakan selama berada di Gili Trawangan yang penduduk aslinya mayoritas muslim namun terbentur dengan tuntutan mata pencaharian utama dari pariwisata masyarakat internasional. Semoga pemerintah setempat bisa segera menyadari hal tersebut dan mencarikan solusinya. Saya insyaAllah yakin kalau pemerintah setempat akan perduli  karena pemerintahan NTB yang sekarang, saya dengar adalah pemerintah yang cukup agamis dan modern. Dan insyaAllah akan segera ada solusi karena di mana ada niat di situ selalu ada jalan. Banyak destinasi wisata internasional yang berpenduduk lokal muslim tapi tetap bisa mempertahankan norma dan nilai-nilai agamanya. Kalau Pulau Sabang masih tidak cukup levelnya untuk dijadikan role model, mungkin Maldives bisa. Pernah mendengar nama Maldives kan? Maldives sebuah kepulauan kecil di tepi Samudra Hindia yang merupakan salah satu tujuan wisata pantai favorit level internasional, makanan yang disediakan di sana semuanya adalah makanan halal dan bahkan mencari alkohol pun susah. Wisatawan -sekalipun itu bule- yang berkunjung ke Maldives dilarang membawa minuman ber-alkohol, makanan yang mengandung babi, anjing, senjata tajam dan narkoba. Wisatawan pun dilarang berkeliling pulau menggunakan bikini, untuk tourist bule yang hobi bikini-an disediakan private beach terpisah dimana orang lokal dilarang untuk masuk. Dan apakah karena larangan-larangan tersebut membuat pariwisata di Maldives mati? Sinar pariwisatanya meredup pun bahkan tidak :)

So, semoga suatu saat Gili Trawangan dan tempat-tempat wisata manapun yang penduduknya mayoritas muslim tetap bisa menjayakan pariwisatanya dengan tetap mematuhi ajaran agamanya, aamiin :)

Tidak ada komentar: